Sabtu, 22 Oktober 2016

Jarak

Lalu datang kamu di hadapanku. Sejak saat itu, kita tahu, kita akan terhalang dan rindu menjadi perantara.

Kita tahu semua ini akan terjadi. Tidak, kamu yang hebat. Diantara hujaman kesibukanmu masih terbesit di pikiranmu diriku. Masih melayang kata "rindu" di balik ribut yang mengacak-acak pikiranmu.

Aku ingin kamu melihat lukisan yang aku lihat
Aku ingin kamu mendengar lagu yang sedang aku putar
Aku ingin kamu mencicipi makanan yang kumakan

Aku ingin kamu ikut menikmati semua hal yang membuatku senang hari ini.

Seharusnya ada yang menunggu di setiap hari Minggu andai jarak tidak menjadi penentu.

Harusnya aku dan kamu melebur menjadi kita tanpa harus berpaku pada waktu.
Dipeluk rindu kau berbisik "kapan?"
Disergap ragu ku menjawab "akan."

 Harusnya, ingin, dan rindu seperti kosakata baru yang memeluk erat pada kata "kita".

Mereka bilang, "jarak tidak berarti, saat seseorang berarti segalanya" atau "jangan benci pada jarak. Berkat jarak, rindu terjadi" adalah ucapan orang dungu.

Tau apa sih mereka soal rindu?

Di setiap kesempatan kita berjumpa, tentang kita berdua yang merasa obrolan malam itu masih terlalu cepat untuk diakhiri.

Dan kamu tidak ada di sini hari ini membuat aku hanya bisa senang seadanya.

Bahagia setengah hati.

Terima kasih atas cinta yang benar-benar gila.

-23

Jumat, 21 Oktober 2016

Dirimu dan Puisi

Dirimu dan puisi,
Dan beberapa perihal yang mungkin tidak bisa terjawab.
Yang menolak untuk dibaca, namun enggan untuk pergi.

Dirimu bagai rahasia di balik bait-bait puisi.
Selalu bersembunyi di antara huruf-huruf pujian yang tak harap untuk ditemukan.

Selasa, 18 Oktober 2016

Spasi

Lampu itu menembus sepasang jendela. Kugenggam erat pensilku. Malam ini begitu syahdu. Hamparan bintang bernyanyi tuk bulan dengan gemerlap cahayanya. Dan sebuah memori yang beku di ruang hampa


Tatapanku kosong

Kertas itu tetap saja sepi akan kata. Seakan tidak mau menjalin hubungan dengan goresan pensil. Perasaan pilu menggerogoti tengah malamku.

Semoga saja begitu juga dengan dirimu.


Akhirnya tertulis semua di kertas,

Aku kamu.


Dipisahkan oleh sebuah spasi

Mungkin itu yang harusnya kita lakukan 2 tahun lalu. Layaknya burung berkicau di pagi hari dan hinggap di ranting pohon saat makan siang.


Bukan ini, sama sekali bukan.

Kamu yang selalu dekat denganku. Tidak ada ruang untuk bergerak. Kamu selalu ada dimana-mana. Bagai napi yang terperangkap di bilik penjara.


Seindah apapun huruf terakhir, akan kah itu akan bermakna jika tak ada jeda? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi?


Bukankah kita bisa bergerak jika ada jarak? Dan saling menyayang bila ada ruang? Kasih sayang akan membawa dua orang semakin berdekatan, tapi ia tak ingin mencekik.


Seperti yang orang lain katakan,

Bunga tidak akan hidup di ruang sempit.